Pendaftaran
calon presiden beserta wakilnya untuk pemilihan presiden 2014 telah
ditutup pada 20 Mei 2014 lalu. Ditetapkanlah dua pasangan
capres-cawapres yang terdaftar, yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla dan
Prabowo Subiyanto-Hatta Radjasa. Joko Widodo-Jusuf Kalla diusung oleh
PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura, sementara Prabowo Subiyanto-Hatta
Radjasa diusung oleh Partai Gerindra, PAN, PPP, Golkar, PBB, dan PKS.
Sementara itu, Aburizal Bakrie yang sebelumnya diprediksi akan turut
meramaikan Pilpres 2014 sebagai capres atau cawapres ternyata gagal
menjadi keduanya.
Pemilihan Presiden 2014 ini memang lebih terasa
gregetnya daripada pemilihan presiden dalam pemilu-pemilu sebelumnya.
Panasnya suhu Pemilu 2014 diawali dengan publikasi berbagai survei
elektabilitas bakal capres jauh-jauh hari sebelum Pemilihan Legislatif
2014. Semua survei berusaha menyajikan penemuan terkait bakal capres,
termasuk capres potensial yang belum dapat kendaraan. Terkait hal ini,
Fadjroel Rachman dkk pernah mengajukan judicial review (permohonan uji
materi) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden (UU Pilpres), yakni pasal 1 ayat 4, pasal 8, pasal 9, dan
seluruh muatan pasal 13 ayat 1, yang menurutnya UU tersebut hanya
menyediakan satu opsi untuk nyapres yaitu lewat partai politik. Tapi MK
berpendapat, ketentuan pasal-pasal yang diuji materi dinilai tidak
bertentangan dengan konstitusi.
http://www.butiktasonline.com/
Sementara itu, pra pilpres 2014 ini, Yusril Ihza Mahendra juga
mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi.
Yusril mengusulkan pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak.
Dengan demikian, harapannya, untuk menjadi capres, seorang kandidat
tidak harus berasal dari partai atau gabungan partai dengan perolehan
suara yang memenuhi ambang batas (
presidential threshold).
Permohonan Yusril dikabulkan. Sayangnya, MK menetapkan pemilu serentak
baru bisa dilaksanakan pada 2019. Kesan politis atas putusan tersebut
pun semakin memanaskan situasi politik menjelang pemilu 2014.
Pemilu 2014 pun diwarnai oleh berbagai rumor
seputar bakal capres maupun cawapres, yang beredar bagaikan bola liar
dan semakin liar karena pihak partai terkesan membiarkannya bergulir.
Misalnya rumor bahwa Joko Widodo tidak benar-benar akan dicapreskan oleh
PDI-P karena pemberian mandat kepada Joko Widodo oleh Megawati
Soekarnoputri sebelum Pileg hanya dimaksudkan untuk mendulang suara
PDI-P dalam Pileg 2014. Usai ditetapkannya hasil Pileg oleh KPU,
gonjang-ganjing koalisi dan manuver partai politik menjadi drama
tersendiri bagi rakyat.
Kini, kita dihadapkan pada ramainya perang opini
tentang pasangan capres-cawapres dari kedua kubu di media sosial.
Televisi, surat kabar, hingga media arus utama online pun
seolah tak bisa mempertahankan independensinya. Obrolan politik
tiba-tiba memenuhi ruang-ruang milik rakyat kecil. Mau tak mau, dua
pasangan capres-cawapres sudha tersedia di depan mata, tanpa ada opsi
lain semisal capres independen.
Katakanlah untuk Pemilu 2019 tidak akan diberlakukan presidential threshold
sehingga kita akan diberi lebih banyak pilihan pasangan
capres-cawapres. Namun demikian, cukupkah hal itu? Bagaimana jika figur
yang kita inginkan menjadi capres atau cawapres tidak direstui oleh
partai yang menaunginya? Setujukah Anda jika setiap warga negara
mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri menjadi presiden
tanpa melalui jalur partai? Akankah konsolidasi demokrasi tercipta
hingga ke level institusionalisasi politik dengan pemilu serentak?
Terkait hal tersebut,Kompasiana adalah Media Warga. Setiap b